Belakangan ini, media sosial sering diramaikan dengan perdebatan panas mengenai data yang menyebutkan bahwa rata-rata IQ orang Indonesia adalah 78. Angka ini menempatkan kita di posisi yang cukup rendah dibandingkan negara-negara tetangga.
Reaksi netizen pun beragam. Ada yang marah dan tidak terima, ada yang minder, tapi ada juga yang menjadikannya bahan bercandaan satir.
Tapi pertanyaannya, apakah benar secara genetik orang Indonesia itu kurang cerdas? Ataukah ada faktor lain yang luput dari perhatian kita?
Sebelum kita terjebak dalam emosi, mari kita berkenalan dengan data lain yang lebih valid dan diakui dunia: PISA.
Apa Itu PISA?
Jika tes IQ sering dianggap mengukur kecerdasan bawaan, PISA (Programme for International Student Assessment) adalah tes yang mengukur kualitas sistem pendidikan. Diselenggarakan oleh OECD, tes ini diberikan kepada siswa usia 15 tahun di seluruh dunia.
Bedanya dengan ujian sekolah biasa apa?
Ujian Sekolah/UN: Biasanya menguji seberapa banyak siswa menghafal materi. (Contoh: "Tahun berapa Perang Diponegoro?")
PISA: Menguji kemampuan bernalar dan memecahkan masalah. (Contoh: Diberikan data kemacetan lalu lintas, siswa diminta mencari solusi logis berdasarkan grafik tersebut).
Singkatnya, PISA tidak bertanya "Apa yang kamu hafal?", tapi "Apa yang bisa kamu lakukan dengan pengetahuanmu?".
Fakta Menohok: Rapor PISA Kita
Jika kita ingin tahu kenapa skor IQ rata-rata kita rendah, hasil PISA tahun 2022 (yang dirilis akhir 2023) memberikan jawaban yang jujur, meski pahit.
Berikut perbandingan skor Indonesia dengan rata-rata negara maju (OECD):
Matematika: Indonesia 366 (Rata-rata dunia: 472)
Membaca: Indonesia 359 (Rata-rata dunia: 476)
Sains: Indonesia 383 (Rata-rata dunia: 485)
Apa artinya angka-angka ini?
Dalam standar PISA, selisih skor 20-30 poin setara dengan satu tahun masa pembelajaran. Dengan selisih lebih dari 100 poin, artinya kemampuan siswa Indonesia rata-rata tertinggal 3 sampai 4 tahun dibandingkan siswa seusianya di negara maju.
Hubungan PISA dengan "IQ 78"
Inilah benang merahnya. Tes IQ modern sangat mengandalkan logika, pola abstrak, dan pemahaman verbal (bahasa).
Ketika sistem pendidikan kita selama bertahun-tahun lebih fokus pada hafalan dan jarang melatih anak untuk berpikir kritis (nalar), maka otak menjadi "kaget" saat dihadapkan pada tes logika seperti tes IQ.
Skor membaca (Literasi) kita yang hanya 359 adalah alarm bahaya terbesar. Ini menunjukkan bahwa banyak anak kita bisa mengeja huruf, tapi gagal memahami inti informasi dari sebuah bacaan panjang. Jika instruksi soal saja sulit dipahami, bagaimana bisa menjawab dengan benar?
Kesimpulan: Masalah "Software", Bukan "Hardware"
Jadi, apakah IQ 78 itu vonis mati? Tentu tidak.
Angka tersebut, dikombinasikan dengan data PISA, sebenarnya memberitahu kita satu hal: Hardware (otak) orang Indonesia itu bagus, tapi Software (pendidikan dan gizi)-nya yang perlu di-upgrade.
Buktinya, banyak pelajar Indonesia yang ketika bersekolah di luar negeri dengan kurikulum yang menuntut nalar, mereka bisa bersaing dan berprestasi gemilang.
Maka, daripada tersinggung dengan angka 78, mari kita jadikan ini cambuk. Solusinya ada di depan mata:
Perbaiki Gizi: Cegah stunting sejak dini agar perkembangan otak maksimal.
Ubah Cara Belajar: Kurangi menghafal, perbanyak diskusi, debat, dan bertanya "kenapa".
Tingkatkan Literasi: Membaca bukan sekadar mengeja, tapi memahami.
Kita tidak bodoh, kita hanya perlu berlatih berpikir dengan cara yang lebih tepat.
| Kategori | Skor Indonesia | Rata-rata OECD (Global) | Keterangan |
| Matematika | 366 | 472 | Tertinggal jauh |
| Membaca | 359 | 476 | Sangat rendah (Darurat Literasi) |
| Sains | 383 | 485 | Tertinggal |
Komentar
Posting Komentar